Senin, 29 Januari 2018

Mengapa Cacing Tak Berkaki?

Hutan ini tak lagi hijau dan telah menjadi merah. Darah mereka yang menjadi penyebabnya. Menetes pada dedaunan hijau yang tak bisa menghindar begitu saja. Waktu itu, angin hanya berhembus pelan dan membuat daun tetap terdiam. Hanya sedikit bergerak karena paksaan tetesan darah itu.

Pagi hari ini cahaya telah menelusuri dedaunan di hutan penuh pohon dan hewan yang beranekaragam. Seekor cacing kecil bernama Lala Cacinga, berjalan dengan berlenggak lenggok memamerkan pantat besarnya. "Aku mau lari pagi, supaya pantatku segera mengecil. Tak nyaman aku mendengar ocehan kaum cacing yang tak ada habisnya."
Badan langsing yang dimiliki Lala memang menjadi dambaan cacing betina lainnya, begitu pula dengan pantatnya. Cacing jantan pun tak kalah ingin memilikinya. Bukan memiliki bentuk yang sama, tapi memiliki pemiliknya yang bernama Lala.
Sampailah si pemilik pantat besar di sebuah taman bunga. Terdapat batu hitam besar di tengah taman itu, dan Lala pun berlari mengelilinginya. Cukup melelahkan untuk ukuran badan langsingnya, tiga atau lima putaran saja. Keringat pun sudah mengucur membasahi tubuhnya. Ketika matahari mencapai ujung kepalanya, Lala pulang menuju rumahnya.
"Du du du...., na na na...," Lala bersenandung untuk sekadar mengusir sepi di perjalanannya. Taman yang tadi ia kunjungi memang cukup jauh dari pemukiman warga cacing. "Despacito.... na na na na na..," Ia kembali mengalunkan lagunya.

"Aduh!"
Suara mengaduh menyentuh gendang telinga Lala. Ia mencari-cari sumber suara itu. "Aaaaaw.. duhhh!" Suara itu semakin jelas, dan ia menemukan satu titik yang ia yakini sebagai sumbernya. Lala menyibakkan sehelai daun di antara semak belukar. Seekor cacing jantan dalam keadaan terluka telah ada di depan matanya.

...bersambung